Lepet
Lepet dengan selongsong janur dan pengikat tali bambu
Video Proses Pembuatan Lepet
Lepet merupakan salah satu makanan tradisional yang berasal dari Jawa Tengah dan memiliki rasa gurih manis. Lepet secara tradisional terbuat dari kelapa parut, beras ketan, dan garam. Adonan atau campuran ketan tersebut dimasukkan dalam selongsong janur yang dibuat dengan cara menggulung janur sedemikian rupa sehingga membentuk suatu uliran seperti yang terlihat pada gambar di atas. Lepet mentah kemudian direbus selama 3 hingga 4 jam hingga matang.
Melalui sebuah wawancara dengan Drs. Hadi Priyanto, diketahui bahwa lepet telah ada sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Namun, pemberian makna filosofis pada lepet dilakukan pada abad ke-16 oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Drajat dari Wali Songo saat menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Para Wali Songo kerap menyebarkan ajaran Islam dengan menggunakan benda-benda sehari-hari atau budaya setempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat setempat tidak mengalami kejutan budaya atau culture shock dan agar ajaran Islam tersebar tanpa unsur paksaan.
Kata lepet berasal dari peribahasa "Silep Kang Rapet" yang memiliki arti "untuk menyimpan baik-baik, rapat, dan ditutup dengan baik". Peribahasa tersebut dapat diartikan "apabila terdapat sebuah kesalahan yang telah diakui, maka sebaiknya kesalahan tersebut tidak diungkit kembali". Makna filosofis yang terkandung dalam lepet tersebut menyebabkan lepet disajikan pada acara, perayaan atau upacara adat penting seperti Idul Fitri. Tak hanya lepet itu sendiri, bahan-bahan yang digunakan pun memiliki arti filosofis tersendiri.
Ketan menggambarkan ikatan pertemnan yang kuat yang diambil dari karakteristik ketan yang menempel satu dengan yang lain. Kelapa parut yang halus menggambarkan perasaan halus dan sopan santun yang diharapkan saat merayakan Idul Fitri. Garam menggambarkan keseimbangan hubungan yang harmonis antar keluarga, lingkungan atau komunitas. Janur berasal dari kata "Jatining Nur" yang memiliki arti cahaya sejati. Janur menggambarkan kesucian manusia saat menerima cahaya suci pada bulan Ramadhan. Proses pemanenan janur yang sulit karena berada di puncak pohon juga menggambarkan upaya atau kerja keras yang dilalui umat Muslim demi mencapai kesucian atau pun untuk menerima pengampunan saat bersalah. Tali bambu yang digunakan sebagai pengikat menggambarkan pertemanan yang kuat karena tanaman bambu selalu tumbuh berkelompok.
Proses pemasakan lepet yang lama menggambarkan kesabaran yang diperlukan untuk memecahkan suatu permasalahan yang ada dalam hidup, serta kesabaran untuk saling memaafkan. Tali bambu diikat sedemikian rupa hingga membentuk 4 iratan tali yang menggambarkan kegiatan "laku papat". Laku papat terdiri dari luberan, leburan, lebaran, dan laburan. Luberan berarti kegiatan berbagi rezeki kepada yang membutuhkan, leburan berarti kegiatan saling memaafkan untuk menghilangkan dosa, lebaran berarti membuka hati dengan lebar untuk memaafkan sesama, dan laburan berarti kondisi hati yang suci setelah menerima cahaya Ramadhan sehingga menjadi seputih kapur. Tak hanya itu, proses pembukaan lepet yang dilakukan ulir demi ulir menggambarkan masalah yang diselesaikan selangkah demi selangkah.
Pada beberapa keluarga atau daerah lepet disajikan pada hari raya idul fitri (1 Syawal), namun beberapa daerah menyajikan lepet seminggu setelah hari raya Idul Fitri (8 Syawal), seperti di Jepara, Demak, dan Solo. Perbedaan waktu penyajian ini bergantung pada tradisi yang dianut oleh tiap keluarga dan lingukungan sekitar. Selain pada Idul Fitri, di Jepara sebagai contoh, lepet digantungkan pada bagian-bagian depan rumah seperti pada atap, pintu, tiang, dan lain sebagainya yang dipercaya dapat mengusir hal-hal negatif. Lepet juga dijadikan sesajen pada beberapa upacara adat, seperti di Desa Ngebel dan pada upacara Sedekah Laut di Jepara, sebagai tanda atau ucapan terima kasih penduduk setempat kepada Allah untuk hasil pertanian atau laut yang melimpah. Lepet juga dikalungkan pada leher sapi pada upacara Gumbregan di Kawasan Gunung Kidul untuk berterima kasih kepada Nabi Sulaiman yang dipandang sebagai tokoh tuan para sapi dan yang telah merawat sapi-sapi tersebut.
Komentar
Posting Komentar