Kedaulatan Biji dan Ketahanan Pangan
Post kali ini akan membahas mengenai salah satu buku yang ditulis oleh Vandana Shiva pada tahun 2016. Buku yang berjudul "Seed Sovereignty, Food Security: Women in the Vanguard of the Fight against GMOs and Corporate Agriculture" ini menekankan pada ketahanan pangan, terutama pada ketahanan bibit. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai isi buku tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai ketahanan pangan itu sendiri. Ketahanan pangan adalah hak masyarakat untuk mengembalikan sistem pangan, termasuk pasar, sumber daya ekologi, budaya makanan, dan metode produksi. Ketahanan pangan yang dibahas dalam buku tersebut dilakukan oleh para wanita sebagai pelopor dalam mempertahankan ketahanan pangan, terutama bibit itu sendiri. Vandana Shiva adalah pendiri organisasi "Navdanya" pada tahun 1987 yang berisi tentang mempertahankan kebebasan menanam dan kedaulatan pangan melalui paten pada bibit yang terkait dengan rekayasa genetika. Mereka memimpin gerakan untuk mengubah praktik dan paradigma. Latar belakang dari penulisan buku tersebut terdiri dari persoalan internal dan
eksternal. Persoalan internal dimana para petani di India
dipaksa untuk menggunakan bahan kimia yang mahal sehingga menyebabkan penumpukan hutang, stress, penyakit, dan bunuh diri. Sementara persoalan
eksternal adalah bibit di India yang dikembangkan secara internasional, namun kemudian di klaim dan menjadi hak milik internasional, bukan milik India lagi.
Vandana Shiva (kiri) dan Cover Buku Seed Sovereignty, Food Security: Women in the Vanguard of the Fight against GMOs and Corporate Agriculture (kanan)
Berkembangnya industri agrikultur dan globalisasi yang menekankan pada komoditas ekspor dan tanaman transgenik membuat agrikultur dan pasokan makanan kimia berdampak pada ekonomi, sosial, dan ekologis. Berikut adalah contoh peristiwa tentang isu praktik ketahanan pangan yang terjadi di beberapa negara.
Etiopia
Etiopia merupakan negara penuh daratan dan Tigre merupakan salah satu bagian dari negara tersebut memiliki iklim yang sangat ekstrim, dimana curah hujan hanya 500-700 mm per tahun. Para petani biasa hidup tanpa listrik dan air, Kekeringan tersebut membuat banyak orang kelaparan. Hal ini menyebabkan, pada tahun 1996, Dr. Sue Edwards bersama Biro Pertanian di pedesaan setempat melakukan proyek agroekologi yang fokus pada pembuatan kompos, pengembangan parit, penanaman pohon, mendorong dan melatih perempuan untuk ikut serta dalam pertanian dengan menanam benih serta diajar dan dilatih untuk beternak. Proyek tersebut menjadikan Tigre sebagai model untuk mencapai ketahanan pangan produktivitas pertanian, dan regenerasi lahan.
Nigeria
Di Nigeria dilakukan agroforestry yang merupakan sistem penggunaan lahan yag mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman di ladang pertanian. Hal ini dilakukan untuk dapat meningkatkan hasil panen. Karena pohon tersebut diaku sebagai milik negara, maka para petani semakin sadar bahwa pohon-pohon tersebut harus dilindungi.
India
Andhra Pradesh dahulu dikenal sebagai ibukota pestisida. Namun, pada tahun 2004, para petani mulai mengenal mengenai pertanian keberlanjutan dan beralih ke pertanian non pestisida karena para petani mulai menyadari bahwa saat menggunakan pupuk kimia dan pestisida, semakin meningkatnya penyakit karena pestisida. Selain itu, harga pupuk kimia dan pestisida yang mahal juga menyebabkan mereka beralih ke pertanian non pestisida.
Brazil
Brazil 30 tahun terakhir ini sudah memiliki gerakan sosial yang disebut "MST" atau Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra, yang bertujuan membangun suatu relasi antara manusia dengan alam serta membantu para pekerja miskin yang oleh sebab-sebab tertentu kesusahan / tidak dapat memiliki tanahnya sendiri. Gerakan tersebut juga mengedepankan kesetaraan gender.
Logo MST Brazil
Selanjutnya adalah beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan keanekaragaman benih yang terjadi di negara-negara di bagian Utara, secara khusus Uni-Eropa dan Amerika Utara.
Regulasi Benih di Uni-Eropa
Eropa menerapkan regulasi benih dengan cukup ketat, dimana hanya varietas benih yang terdaftar dan diizinkan oleh CPVO (Community Plant Variety Office) yang bisa diperdagangkan dan dikomersialkan. Benih yang didaftarkan harus memenuhi kriteria distinctness (unik, beda dengan varietas lain), uniformity (kesamaan benih dalam varietas yang sama), dan stability (stabilitas panen dari waktu ke waktu). Regulasi tersebut menyebabkan berkurangnya keanekaragaman benih karena hanya varietas tertentu yang diperdagangkan. Selain itu, terdapat undang-undang di Eropa yang menyatakan bahwa tanaman maupun hewan transgenik dapat dipatenkan. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan besar, secara khusus perusahaan kimia, yang memonopoli seed breeding (pemuliaan / perkembang biakan benih) di Eropa, sehingga para petani hanya menanam benih-benih yang berasal dari pasar atau perusahaan tersebut.
Di Prancis, terjadi perubahan pertanian. Pada awalnya, para petani memiliki hak untuk menanam dan memperbanyak benih mereka sendiri, sehingga mampu menghasilkan berbagai macam jenis tanaman dan varietas. Namun, saat ini para petani kehilangan hak untuk melakukan hal tersebut dan hanya diperbolehkan menanam benih dari perusahaan. Varietas-varietas lokal di perancis banyak yang hilang akibat regulasi tersebut, yaitu sekitar 80%. Isu tersebut mendorong para petani, peneliti, dan wanita di desa untuk bersatu untuk membentuk "The Peasant Seed Network" pada tahun 2003. "The Peasant Seed Network" merupakan kumpulan organisasi yang memperjuangkan kebebasan benih.
Italia
Wilayah Tuscany merupakan wilayah pertama di Italia yang menerapkan hukum untuk tidak memperbolehkan kultivasi tanaman transgenik. Pada tahun 2003, dilakukan pertemuan International Commission on the Future of Food Agriculture yang diketuai oleh Vandana Shiva. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membahas sistem pertanian berdasarkan prinsip berkelanjutan, lokalitas, dan pertanian organik. Dokumen yang dihasilkan, Manifesto on the Future Seed, dijadikan dasar salah satu hukum mengenai benih.
Amerika
Pada tahun 1989, didirikan organisasi non profit yang mempromosikan pertanian organik dan berkelanjutan. Organisasi tersebut membentuk Native American Seed Bank untuk melestarikan benih-benih varietas lokal asli Amerika agar tidak punah. Selain itu, terdapat gerakan Mom's Across America yang merupakan kumpulan para ibu di seluruh Amerika yang khawatir akan produk-produk GMO yang dapat membahayakan kesehatan keluarga dan anak-anak. Gerakan tersebut juga berkembang ke Afrika dan Irlandia.
Bangladesh
Pada awalnya, pertanian di Bangladesh berkembang pesat. Namun, sejak revolusi hijau, pertanian di Bangladesh bersifat statis. Hal ini menyebabkan pada tahun 1972 didirikan Bangladesh Agricultural Development Corporation bertujuan untuk meningkatkan produksi. Penggunaan benih-benih transgenik oleh korporasi tersebut menyebabkan suatu gerakan Naya Krishi Adolan yang berprinsip untuk tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia, manajemen tanah, sistem campur tanam, dan rotasi tanaman.
Argentina
Terdapat dua kubu di Argentina yang menolak dan mendukung GMO. Pemerintah cenderung mendukung GMO, sementara para ibu di Ituzaingo menolak. Penolakan tersebut disebabkan oleh anak-anak yang terkena dampak kimiawi dari produk GMO.
Aktivis-aktivis yang beranggotakan para ibu di garis depan berupaya untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan otonomi komoditas dunia, menciptakan pertanian yang organik dan berkelanjutan, bebas dari bahan kimia, dan terbukti meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kasus kelaparan.
Komentar
Posting Komentar