Kedaulatan pangan sebagai dekolonisasi: beberapa kontribusi dari gerakan adat ke sistem pangan dan politik pembangunan

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kedaulatan pangan menjadi topik yang sering dibicarakan. Perdebatan terjadi karena terjadi pergeseran makna mengenai kedaulatan pangan. Pergeseran dapat terjadi karena kedaulatan pangan dapat melibatkan aspek sosial, politik, dan lingkungan masyarakat, sehingga menimbulkan definisi yang berbeda-beda. Kedaulatan pangan juga merupakan hasil upaya warga pribumi melawan penjajah. Gerakan kedaulatan pangan selain untuk memperluas hak memproduksi dan mengonsumsi makanan, juga harus bertujuan untuk memperbaiki sistem pangan yang melibatkan hubungan sosial, budaya, politik, serta lingkungan masyarakat pribumi. Menurut Sam Grey, terdapat dua kata kunci, yaitu; kedaulatan pangan sebagai bentuk perjuangan masyarakat pribumi saat masa paska kolonial, dan perjuangan tersebut harus dilakukan secara terus-menerus.

Pada tahun 1996, para petani kecil, perempuan, dan masyarakat pribumi berkumpul di Meksiko untuk membicarakan dampak sistem pertanian yang semakin mengglobal dan mempengaruhi mata pencaharian, ekonomi, dan lingkungan  mereka. Melalui perkumpulan tersebut terbentuklah sebuah gerakan dengan nama La Via Campesina. La Via Campesina menjadi salah satu gerakan sosial terbesar dengan anggota di berbagai belah dunia yang kemudian mengusulkan sebuah paradigma yaitu kedaulatan pangan untuk menantang fondasi pertanian pada masa kini. Selain itu, juga terdapat sebuah strategi yang dibentuk untuk melawan perdagangan perusahaan dan sistem pangan neoliberalisme. La Via Campesina juga berjuang untuk mengembalikan hak para petani akan tanah mereka, hak-hak kaum perempuan, dan lain sebagainya. Sistem pangan neoliberalisme ditentang oleh anggota La Via Campesina karena hanya fokus pada keuntungan perusahaan, meningkatkan ekspor komoditas pertanian, serta fokus pada adaptasi teknologi, inovasi ilmiah, dan sistem manajemen yang modern. Sebaliknya mereka mendukunga sistem kedaulatan pangan yang fokus pada produksi lokal, perlindungan pasar lokal dari dumping, penerapan sistem berkelanjutan, serta diversifikasi produk dan pengurangan zat kimia berbahaya. Dumping merupakan kegiatan menjual dengan harga murah produk dalam negeri di negara lain, dibandingkan dengan harga jual produk di negeri sendiri. Hal ini dapat terjadi karena terdapat kelebihan produksi suatu produk oleh suatu negara. Produk yang berlebihan tersebut kemudian dijual dengan harga murah ke negara lain yang membutuhkan, namun harg yang murah tersebut justru mengakibatkan perubahan pangsa pasar internasional untuk produk tersebut, sehingga dapat merugikan pengusaha dengan produk yang sama di negara-negara lain.

Kedaulatan pangan dan swasembada pangan sendiri sering dilihat sebagai satu istilah yang sama, namun sebenarnya berbeda. Apabila kedaulatan adalah hak masyarakat untuk mengatur sistem produksi dan konsumsi pangan, swasembada adalah kemampuan negara untuk mencukupi kebutuhan pangan. Oleh sebab itu, apabila suatu negara telah mencapai swasembada pangan bukan berarti negara tersebut pasti berdaulat. Sebagai contoh, untuk mencukupi kebutuhan pangan, dilakukan perluasan dan peningkatan produksi pangan, namun dalam meningkatkan produktivitas dibutuhkan bibit unggul yang biasanya didapatkan dari luar negeri. Sehingga meskipun kebutuhan tercukupi, negara tersebut tidak berdaulat dalam sistem pangannya karena masih bergantung pada negara lain untuk bibit.

Apabila di luar negeri terdapat La Via Campesina, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sendiri memiliki Serikat Petani Indonesia (SPI) yang merupakan salah satu anggota dalam La Via Campesina. SPI bertujuan untuk mendukung dan memperjuangkan hak petani untuk mencapai kedaulatan pagan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persyaratan PIRT: Uji Lab

Manajemen Rantai Pasok Halal

Pemanis Buatan