Tiga Perspektif untuk Mencapai Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan: Efisiensi, Pembatasan Permintaan, dan Transformasi Sistem Pangan serta Pengaruh Life Cycle Assessment pada setiap Perspektif
Saat ini, masalah makanan menjadi obsesi global. Salah satu masalah tersebut adalah peningkatan populasi dan permintaan pangan suatu negara yang tidak dibarengi dengan kemampuan untuk memenuhinya. Peningkatan permintaan di sisi lain juga dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas bahan pangan. Selain itu juga terdapat masalah distribusi pangan yang mengakibatkan masalah kesehatan seperti malnutrisi dan obesitas di saat yang sama. Garnett pada tahun 2013 menyimpulkan kemudian, melalui penelitian, bahwa dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, terdapat 3 perspektif yang dapat dianut, yaitu; efisiensi, pembatasan permintaan, dan transformasi sistem pangan.
Perspektif Efisiensi
Perspektif ini fokus pada peningkatan produksi dan pemenuhan kebutuhan pangan. Kedua hal tersebut dapat dicapai dengan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi keterbatasan lingkungan yang dimiliki, dan melalui sistem manajerial yang modern. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan produktivitas bahan pangan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah, sehingga tercipta sistem produksi yang efisien. Produktivitas yang efisien kemudian dapat menyisakan lahan untuk alam yang disebut dengan land sparing. Penganut perspektif efisiensi percaya akan "keuntungan relatif", yang melihat apakah biaya lingkungan yang dihasilkan lebih kecil daripada keuntungan nutrisi yang didapatkan dari produksi suatu bahan pangan.
Life Cycle Assessment (LCA) atau uji siklus hidup suatu produk sering digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang dihasilkan suatu produk atau jasa mulai dari awal (perkecambahan, pemanenan) hingga akhir tahapan hidup produk (saat dibuang atau tidak digunakan lagi). LCA pada perspektif ini digunakan untuk identifikasi performa berbagai teknik produksi yang mampu menghasilkan dampak lingkungan terendah.
Pada perspektif ini terdapat rebound effect dimana penurunan emisi di satu sektor dapat menyebabkan peningkatan emisi di sektor lain. Selain itu, rebound effect juga
terlihat pada penggunaan lahan, peningkatan produktivitas justru dapat
meningkatkan motivasi produsen untuk membuka lahan baru untuk
memproduksi lebih banyak, yang kemudian bertolak belakang dengan tujuan land sparing.
Kelemahan dari perspektif ini adalah minimnya perhatian akan kualitas
pangan yang dihasilkan karena terlalu fokus pada kuantitas yang
dihasilkan, serta minim perhatian pada dimensi ketahanan pangan lain
seperti; akses, utilitas, dan stabilitas sistem.
Perspektif Pembatasan Permintaan
Fokus dari perspektif ini pada konsumen dan pola konsumsi konsumen tersebut. Pola konsumsi yang berlebihan dianggap sebagai penyebab utama krisis lingkungan karena dapat meningkatkan jumlah produksi yang meningkatkan jumlah emisi gas rumah kaca, sehingga harus dilakukan pembatasan jumlah konsumsi. Meskipun begitu, tidak terdapat batasan minimum konsumsi yang harus dicapai bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya namun memberikan dampak lingkungan yang minim bagi lingkungan. Selain itu, perspektif ini melihat hewan ternak sebagai pemberi beban terberat bagi lingkungan dan menyumbangkan emisi gas rumah kaca terbesar dibandingkan dengan produk pangan nabati. Nilai buruk yang diberikan bagi hewan ternak ini membutakan para penganut perspektif ini dari "keuntungan relatif" yang sebenarnya dapat didapatkan dari hewan ternak, seperti nutrisi dan pupuk yang dihasilkan. Salah satu kelemahan lain dari perspektif ini adalah kemampuan untuk menyatakan mana yang benar dan salah, tetapi tidak terdapat suatu solusi yang diberikan untuk mengubah yang salah menjadi yang benar.
Terdapat 3 anggapan pada perspektif ini, yaitu;
- Teknologi yang dapat merusak karena disalahgunakan untuk merusak lingkungan, seperti untuk pembebasan lahan dengan lebih cepat dan mudah.
- Batas lingkungan yang absolut, yang membatasi antara lahan pertanian dengan lahan untuk alam, dimana batas tersebut tidak boleh dilewati.
- Manusia keluar dari alam, karena alam dianggap lebih baik apabila manusia sama sekali tidak menyentuhnya karena sifat alami manusia yang merusak lingkungan.
LCA pada perspektif ini digunakan untuk menentukan pola produksi yang terbaik yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan pola produksi yang terbaik, Sebagai contoh, karena perspektif ini lebih mendukung produk nabati, maka para penganut perspektif ini menyarankan para produsen untuk beralih atau mulai fokus pada produksi produk pangan nabati saja.
Masalah yang ditekankan pada perspektif pembatasan permintaan ini ada pada distribusi makanan yang tidak merata di suatu negara. Hal ini dapat dilihat dari kondisi kesehatan masyarakat suatu negara yang sebagian mengalami malnutrisi dan sebagian lagi mengalami obesitas. Di saat yang sama, terdapat jumlah limbah makanan yang tinggi.
Kata "efisiensi" pada perspektif ini lebih fokus ke nutrisi yang sebenarnya dapat didapatkan secara langsung dari makanan. Dicontohkan ternak yang diberi pakan dari biji-bijian akan sangat tidak efektif karena akan lebih baik apabila nutrisi yang terkandung dari biji-bijian langsung dikonsumsi oleh konsumen. Sementara pendapat ini bertolak dengan penganut perspektif sebelumnya yang meihat dari sudut pandang ramah lingkungan, dimana ternak yang diberi pakan biji-bijian akan lebih efisien bagi lingkungan karena akan menghasilkan metana lebih sedikit.
Perspektif Transformasi Sistem Pangan
Perspektif ini melihat sistem produksi dan konsumsi menjadi satu kesatuan yang dapat digunakan untuk mencapai keseimbangan dalam sistem pangan. Selain itu, penganut perspektif ini melihat bahwa masalah yang terjadi tak hanya bersifat teknis, melainkan juga sosial ekonomi, dan bukan merupakan kesalahan dari keputusan suatu individu. Sistem pangan tidak dilihat sebagai satu sistem tersendiri, melainkan berhubungan dengan sistem-sistem lain, sehingga perubahan pada sistem pangan akan berdampak pada sistem lain, seperti sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Begitu pula dengan ketahanan pangan yang tak dapat dicapai apabila hanya melihat dari segi supply, namun juga harus melihat faktor lain seperti aksesibilitas, kemampuan beli, utilitas, dan stabilitas sistem. Selain itu, nutrisi dan lingkungan juga dilihat sebagai satu kesatuan yang harus ditangani secara menyeluruh dan mempertimbangkan berbagai aspek.
LCA pada perspektif ini kurang berperan karena satuan pengukuran LCA yang terlalu sederhana tak dapat digunakan untuk mengukur dampak-dampak di luar sistem produksi produk, seperti dampak ke ekonomi produsen dan sosial bagi masyarakat sekitarnya.
Di Indonesia
Indonesia terus menerus berupaya untuk meningkatkan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan. Namun, sebenarnya masalah utama adalah distribusi pangan yang tidak merata di seluruh Indonesia. Menurut Food Security Index yang diterbitkan oleh BCFN pada tahun 2017, Indonesia masih memiliki angka limbah makanan yang lumayan tinggi. Makanan yang seharusnya dapat dikonsumsi justru terbuang. Selain itu, target untuk memenuhi 90% kebutuhan secara domestik belum juga terpenuhi hingga saat ini dan menyebabkan Indonesia semakin tergantung dengan impor. Tanaman yang ditumbuhkan sebagian besar tidak berkontribusi terhadap ketahanan pangan, seperti karet dan kelapa sawit. Demografi juga kerap berubah menjadi menengah ke atas yang menyebabkan kesenjangan sosial. Masyarakat menengah yang semakin banyak akan semakin condong ke produk lua negeri yang dianggap lebih berkualitas sehingga ketergantungan akan impor semakin terjadi, dan harga makanan yang meningkat juga menyebabkan masyarakat kelas ekonomi bawah semakin susah untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Disarankan bahwa Indonesia mencari suatu cara untuk membatasi konsumsi konsumen yang berlebihan, seperti peningkatan harga untuk bahan pangan yang bukan bersifat pokok, dan memperbaiki sistem distribusi serta sistem pangan agar ketahanan pangan dapat tercapai.
Komentar
Posting Komentar